Senin, 28 Maret 2011

Suatu ketika, dalam majelis koordinasi seorang akhwat berkata pada mas’ul dakwahnya, “akhi, ana ga bisa lagi berinteraksi dengan akhfulan”. Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali menekan perasaannya.”Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang membuat ana merasa risi dan….Afwan, terus terang juga tersinggung.”
Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu mengatakan….ia jatuh cinta pada ana.”
mas’ul tersebut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha tetap tenang. “Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan.” Sang mas’ul mencoba menenangkan terutama untuk dirinya sendiri.

“Afwan…ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan itu mungkin tidak pernah berpikir dampak perkataannya. Kata-kata itu membuat ana sedikit banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal menjaga komitmen dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini.” sang akhwat kini mulai tersedak terbata.
“Ya sudah…Ana berharap anti tetap istiqamah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini”.
Mas’ul itu membuat keputusan, “ana akan ajak bicara langsung akh fulan”
Beberapa Waktu berlalu, ketika akhirnya mas’ul tersebut mendatangi fulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, “Ana memang menyatakan hal
tersebut, tapi apakah itu suatu kesalahan?”
Sang mas’ul berusaha menanggapinya searif mungkin. “Ana tidak menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu.
Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya.
Apakah antum menyampaikan kepada pembina antum untuk diseriuskan?.
Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha menjaga kemungkinan fitnah dari pernyataan antum, baik terhadap ikhwah lain maupun terhadap dakwah????” Mas’ul tersebut membuat penekanan
substansial. ” Akhi bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan sinetron atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah.
Perasaan itulah yang melandasi ekspansi dakwah dan jaminan kemuliaan Allah SWT. Perasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka Jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan.”
Cinta Aktivis Dakwah
Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki?
Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam
konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.
Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta
tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana.
Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta ‘lain’ muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yg jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini
yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak
lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif
yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini,”akan lebih banyak
lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada
disamping laki-laki yg cakap, lebih banyak kata saya…daripada yang
saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri..”
Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan
jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah
dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan
dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada
diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta???jangan sampai kita lupa,
bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan,
maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai
generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun
pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena
memuliakan Islam.
Deklarasi Cinta
Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta
diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa
mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita
tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku
generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang
cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan
dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun
mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah
persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja
keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan ke surga dan kemuliaan
Allah, tidak pernah mendapat tempat disana.
Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang
jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah
banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan.
Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta
masih menjadi topik ‘asing’ dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi
dan nuansa cinta kita masih terkesan ‘misteri’. Pertanyaan sederhana,
“Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama
dia?”, dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan
cinta suci dalam dakwah ini.
Pernyataan ‘Nikah dulu baru pacaran’ masih menjadi jargon yang
menyimpan pertanyaan misteri, “Bagaimana caranya, emang bisa?”. Sangat
sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon
tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan,
diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan
jargon tersebut.
Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan
cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari
penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada
sang Penguasa. Cinta yang diberkahi karena taat pada sang penguasa.
Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan
ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi
bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang
berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang
Allah berikan kepada kita.
Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakan tentang cinta
ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga
dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap
akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta
ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan
kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak
dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut
mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang
menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa
mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga
dakwah hari ini.
Epilog
Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yg berjanji
dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna,
maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri
kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang
istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan
perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan
Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita.
Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.
Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini.
Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka
saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka
menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah
berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan
Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang
sakinah, mawaddh, warahmah. jadi, sudah berani jatuh cinta??
wallahu’alam
diambil dari majalah al izzah edisi 11/th4/jan 2005 M
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!