Jumat, 15 April 2011

Sobat Muda Muslim kali ini kita akan menceritakan kisah seorang ibu yang begitu tangguh,beliau sendiri merupakan tetangga ana sendiri,SM (Sobat Muslim) ,beliau merupakan ibu yang tangguh,ia mampu menjadi tulang punggung keluarganya meskipun usianya bisa dikatakan sdh masuk usia pensiun.:-(
Nih Cerita Nya SM LOVERS :-)

Selepas maghrib, tenda dengan tiang besi ukuran 2 x 2 meter sudah terpasang. 6 kompor minyak mengeluarkan apinya, merebus air yang ada di dalam panci-panci alumunium. Seorang wanita usia baya, dengan lincah melipat susunan daun pisang lalu tiap ujungnya digunting dan, terbentuklah lingkaran besar dari susunan daun pisang itu. Tidak lama berselang, datang dua orang perempuan, satu berusia 30-an dan satunya berusia belasan tahun. Di belakang mereka, dua orang balita berjalan tertatih mengangkat bungkusan yang berisi kardus makanan. Setelah meletakkan bungkusan itu, mereka berlari-lari mengitari tenda kecil itu. Melihat mereka, wanita tua itu pun beranjak dari kursinya. Memegang tangan salah seorang balita tadi, lalu mengajaknya pulang. Dengan sedikit membungkuk dia berjalan pulang menyusuri gelap malam di tepi kanal. Rumahnya hanya berjarak 70 meter dari tenda tadi.

Ma’ Rannu, begitu orang menyebutnya. Umurnya mendekati 70 tahun, kulitnya cokelat gelap dan badan cukup gemuk. Malam itu dia mengenakan daster terusan dan cipo’-cipo’ (ciput atau dalaman kerudung). Di rumahnya, dia menyambutku dengan ramah. Setelah mempersilahkan duduk, dia mulai bercerita sedikit tentang kehidupannya.

****

Setelah menikah, dia meninggalkan kampungnya di Pacce’lang Desa Anrong Appa Kabupaten Pangkep menuju Makassar. Di Makassar, dia dan keluarganya menempati lods kerabatnya di Pasar Pa’baeng-baeng (Jl. Gowa Raya, sekarang Jl. Sultan Alauddin). Di sana, dia dan suaminya menjual kelapa, ubi kayu dan telur. Usaha itu bertahan selama beberapa tahun. Tetapi usahanya tidak mengalami kemajuan. Suaminya pun memilih menarik becak untuk menambah penghasilan keluarga. Di awal tahun 80-an, melihat usaha suaminya tak kunjung mampu menanggung seluruh kehidupan keluarga, dia pun berinisiatif menambah usahanya. Putu, adalah pilihannya. Berbekal pengetahuan yang didapatnya dari seorang tetangga yang bernama Hj Lija, dia memulai usahanya. Dia pun membuat tenda kecil di depan lods tempat tinggalnya. Lokasi itu hanya ditempatinya selama seminggu. Dia lalu pindah ke depan rumah seorang kerabat, tepat di seberang jalan –dan lokasi itulah yang ditempatinya hingga kini. Awalnya, dia hanya membuat adonan putu sekitar satu sampai dua liter tepung beras dengan harga Rp 25 (kini Rp 1000) per biji.

Pertengahan tahun 80, Pasar Pa’baeng-baeng direnovasi secara besar-besaran. Pedagang yang tadinya tinggal di lods-lods atau lapak-lapak “dipaksa” pindah. Pasar darurat pun diadakan. Sebagian pedagang menempati lapak seadanya dan sebagian lagi memilih pindah ke pasar lain (kebanyakan dari mereka pindah ke Pasar Parang Tambung). Ma’ Rannu memilih tetap berdagang di Pasar Pa’baeng-baeng dan membeli sebuah rumah panggung di sekitaran depan pasar.

Sepanjang tahun 90an, putu Ma’ Rannu mengalami kemajuan bahkan bisa dibilang sebagai “puncak kejayaan”. Dalam sehari misalnya, ada sekitar 70 liter bahkan lebih tepung beras yang dihabiskan. Pagi sampai sore hari adalah waktu tersibuk bagi suami dan anak-anaknya. Beberapa anak lelakinya mulai menumbuk beras untuk dijadikan tepung dan setelah itu disangrai oleh Ma’ Rannu dan suaminya. Sebagian anaknya memarut kelapa dengan parutan manual. Kegiatan ini berlangsung sampai sore hari. Setelah segalanya siap, mereka lalu bersiap ke lokasi dagangan.

Putunya selalu ramai dikunjungi pembeli. Bukan hanya orang biasa, pejabat dan artis pun kerap mengunjungi tenda kecilnya. Bahkan beberapa di antara mereka sering mengundangnya ke acara-acara resmi untuk membuat putu. Setiap ada ajang yang menyajikan makanan tradisional, Ma’ Rannu biasanya diundang. Keahliannya membuat putu membuat beberapa pedagang putu yang ada di Makassar “berguru” kepadanya. Biasanya dia mengenakan tarif sekitar 90.000 rupiah per satu kali kursus. Tidak sedikit pula dari pedagang putu itu yang mengaku memiliki hubungan keluarga dengannya hanya untuk melariskan putu mereka.

Ada dua jenis putu yang dijualnya. Putu cangkiri dan putu tongka. Putu cangkiri terbuat dari tepung beras ketan yang dicampur gula merah dan di dalamnya berisi parutan kelapa, sebagai alas digunakan daun pisang. Disebut putu cangkiri sebab bentuknya seperti cangkir. Hanya saja ukurannya yang berbeda (1/3 ukuran cangkir teh). Sedangkan putu tongka terbuat dari tepung beras biasa dan ditaburi parutan kelapa di atasnya. Disebut putu tongka sebab tempat adonannya menggunakan tongka (bambu yang biasa digunakan untuk minum namun tingginya hanya sekitar 10 cm dengan diameter 5 cm). Cara memasak kedua putu ini dengan menggunakan uap dari rebusan air.

Tidak seperti sebelumnya, kini dia hanya menghabiskan sekitar 40 liter tepung beras untuk adonan putu. Beras pun tidak lagi ditumbuk seperti biasanya. Untuk membuat tepung, beras digiling memakai mesin penggilingan di pasar. Untuk kelapa, dia memakai mesin parut yang dibelinya beberapa tahun silam. Kalau dulu, dia masih dibantu oleh anak-anak lelakinya. Tapi sekarang, mereka telah memiliki keluarga dan menempati rumah sendiri. Sehingga “ritual” menumbuk beras dan memarut kelapa itu tidak lagi dilakukan.

Tahun 2006, suaminya meninggal. Setahun setelahnya Ma’ Rannu tidak lagi membuat putu sampai sekarang. Dia hanya membantu menyiapkan adonan dan peralatan memasak. “Tena ma kulle mempo dudu” menjawab pertanyaanku. Dia sebelumnya, setiap sore sampai dini hari selama kurang lebih 30 tahun  berjualan putu. Ma’ Rannu dan putunya telah menjadi tumpuan ekonomi keluarga selama berpuluh tahun. Dia pula telah berhasil menyekolahkan 7 anak laki-laki dan 2 anak perempuannya, merenovasi rumah bahkan di tahun 2005 dia menunaikan rukun islam ke-lima.

Namun karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan untuk duduk lama, dia memilih beristirahat di rumah dan menghabiskan waktu bersama cucunya. Di tempat yang sama, usahanya kini dilanjutkan oleh Khadijah, anak perempuannya.

SM lovers semoga saja kita dapat mengambil hikmah dari Kisah Bu Marannu..
Yah kita masih terlalu muda akh,jangan sia-siakan waktu kita jangan mau dikalah Ibu Marannu..
Jangan Cengeng,Jangan Manja Dan Jangan Suka Mengeluh..!!!

KEEP HAMASA SOBAT MUSLIM !!!



Sumber : Seorang Ikhwah (******)
Categories:

1 komentar:

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!